Cikini dan Maestro Lukis: Raden Saleh

Sabtu, 22 Februari 2014 | komentar


BERITAJAKARTA.COM — Imanee
Menyebut nama Jalan Cikini Raya, mungkin yang pertama muncul di ingatan banyak orang hanyalah Taman Ismail Marzuki (TIM). Padahal, jika menyebut kawasan tetangga Menteng dan Gondangdia itu, tak pernah bisa dilepaskan dari sosok legenda lukis Indonesia, Raden Saleh Sjarif Bustaman.
Di Cikini, yang oleh warga Betawi dilafalkan dengan sebutan Cekini, juga terdapat rumah Raden Saleh, yang namanya juga diabadikan di salah satu nama jalan di kawasan tersebut. Di sebelah TIM yang juga merupakan bagian dari rumah pelukis Raden Saleh sampai 1970-an masih terdapat kolam renang Cikini. Kolam renang yang dibangun pada 1930-an ini sampai 1970-an masih berdiri dan banyak didatangi warga ibu kota dari berbagai tempat.

Pesatnya pembangunan Jakarta memang telah merubah wajah asli Cikini. Sebelum dibangun Taman Ismail Marzuki (TIM) pada akhir tahun 1960-an oleh Gubernur Ali Sadikin, di Cikini terdapat sebuah kompleks kebun binatang yang menjadi salah satu obyek wisata bagi masyarakat kala itu.
Bang Ali, panggilan akrab Ali Sadikin, membangun TIM dengan menggusur Bioskop Garden Hall, bioskop kelas satu di Jakarta kala itu. Tak hanya itu, podium, sebuah bioskop kecil di dekatnya juga digusur oleh Bang Ali.

Di kawasan Cikini juga terdapat sebuah kampung dengan nama Cikini Binatu (kini Jl Raden Saleh II), di tepi Kali Ciliwung. Disebut demikian, karena di situ banyak tinggal tukang binatu yang memanfaatkan Kali Ciliwung yang kala itu airnya masih jernih. Langganan mereka adalah tuan dan nyonya Belanda yang tinggal di Cikini. Di sini juga banyak tinggal tukang delman yang memanfaatkan banyaknya lapangan untuk memelihara kuda. Kuda-kuda oleh tukang delman di Cikini juga biasa dimandikan di Ciliwung.

Di belakang Pasar Cikini yang megah tepat di depan stasiun kereta api (KA) Cikini, ada kampung Cikini Kramat Kamboja. Kampung yang juga dikenal sebagai Gang Ampiun ini dilintasi kereta api barang yang mangkal di Gang Kenari (samping FK UI). Salah satu peninggalan tempo dulu yang kini telah dipindahkan adalah para pedagang yang berjejer hingga ke Stasiun KA Cikini. Para tukang kembang di Pasar Cikini sudah merupakan generasi turun temurun sejak kakek mereka.
Budayawan Betawi, Ridwan Saidi mengatakan, pada masa penjajahan tokoh Raden Saleh yang mempunyai rumah di Jl Raden Saleh (kini RS PGI Cikini) dilengkapi dengan kebun binatang yang banyak memelihara kijang. Di zaman Bang Ali, kemudian kebun binatang itu dipindahkan ke Ragunan hingga saat ini.

Cikini, kata Ridwan Saidi, disebut demikian lantaran di daerah itu juga mengalir Kali Cikini sehingga lazim disebut Cikini hingga sekarang. “Lafalnya orang Betawi dulu nyebut Cikini itu Cekini,” kata Ridwan Saidi kepadaberitajakarta.com, beberapa waktu lalu. Salah satu tokoh Cikini pada zaman revolusi yang juga giat menentang penjajahan Belanda, kata Ridwan Saidi, adalah Bir Ali. Namun sayangnya, nama Bir Ali tidak begitu melekat di sejarah warga Cikini, dan hanya beberapa orang tua saja yang mengetahuinya. RS PGI Cikini, tambahnya, dulunya merupakan rumah Raden Saleh. Gedung ini dibangun awal abad ke-20 oleh seorang baron Belanda yang pada tahun 1940 ditangkap atas tuduhan menjadi kaki tangan Jerman. Di situ juga terdapat Restoran Oasis yang masih tampak megah hingga kini. Restoran ini dihiasi banyak lukisan, patung, dan permadani sangat mahal. Tidak ketinggalan sejumlah barang antik dari Prancis, Jerman, dan Belanda menjadi koleksi gedung ini.
Sesudah tahun 1940, berturut-turut digunakan sebagai tempat tinggal gubernur jenderal yang beristrikan orang Amerika sebagai tempat persembunyian mereka ketika zaman penjajahan Jepang. Oasis juga sempat dijadikan sebagai tempat tinggal para opsir tinggi Jepang. Sesudah Perang Dunia II gedung itu menjadi tempat tinggal pejabat perwakilan Angkatan Laut AS yang bergabung dalam tentara sekutu.

Di Cikini juga terdapat Masjid Jami Cikini yang dibangun Raden Saleh. Masjid yang berusia lebih satu abad ini dulu menjadi tempat mengajar Habib Salim Bin Djindan dan Habib Alwi Djamalullail. Keduanya dikenal sebagai dai vokal dan seringkali tanpa tedeng aling-aling melontarkan kritik pada pemerintah kolonial Belanda hingga akhirnya beberapa kali dijebloskan dalam penjara. “Yang memang merupakan tokoh sentral Cikini itu, ya Raden Saleh. Makanya dipakai menjadi nama jalan,” tandas Ridwan Saidi.     
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Edunesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template | More Trick | IVY Themes
Proudly powered by Blogger